Sabtu, 29 Januari 2011

K3 HARUS DITERAPKAN PADA SEMUA PEKERJAAN KONSTRUKSI

Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor yang memiliki resiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja mengingat kerugian yang akan ditimbulkan tidak hanya korban jiwa, materi yang tidak sedikit baik bagi pekerja dan pengusaha, tertundanya proses produksi, hingga kerusakan lingkungan yang akhirnya berdampak bagi masyarakat luas. Untuk itulah diperlukan implementasi Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada semua pekerjaan konstruksi.

Menurut Kepala Badan Pembina Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Sumaryanto Widayatin saat membuka Training of Trainer (TOT) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi Bagi Pembina Jasa Konstruksi Senin (2/3) di Jakarta, manajemen K3 bahkan seharusnya tidak hanya diterapkan sampai saat pekerjaan konstruksi, namun hingga hasil pekerjaan konstruksi dipakai masyarakat.

“Prevention tidak cuma dilaksanakan saat pekerja atau pekerjaan berlangsung tapi hingga setelah bangunan digunakan dengan selamat bagi masyarakat luas”, ditegaskan Sumaryanto.

Misalnya saja, ditambahkan Sumaryanto, bangunan bendungan yang aman saat pengerjaan hingga terbukti tidak jebol saat musim hujan, jembatan yang selamat dari resiko kecelakaan hingga selamat juga saat digunakan, dan lain sebagainya.

Departemen Pekerjaan Umum sendiri sebagai Pembina Jasa Konstruksi sangat menyadari arti penting Manajemen K3. Terbukti pada 12 Februari 2009 yang lalu seluruh pimpinan dan jajaran di lingkungan Departemen PU serta mitra kerja telah menandatangani Kebijakan K3 dan Pakta Komitmen yang berisikan tekad untuk membangun budaya K3 dalam penyelenggaraan konstruksi. Bahkan ke depan penilaian sistem K3 akan dilakukan dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa untuk proyek yang didanai APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri.
Tentunya tidak hanya berhenti demikian, BPKSDM sebagai pelaksana pembinaan jasa konstruksi melihat bahwa penanganan permasalahan K3 di Indonesia yang bertumpu pada tenaga kerja dilakukan melalui keteladanan melalui Tim Pembina Jasa Konstruksi Provinsi yang memiliki peran terbesar dalam usaha merubah paradigma K3 Konstruksi. Salah satu langkah nyatanya melalui TOT SMK3 Konstruksi ini yang diharapkan dapat mendukung kebutuhan Narasumber/Instruktur SMK3 di Provinsi sekaligus menyadarkan arti penting K3 pada kegiatan konstruksi hingga ke Kabupaten/Kota.



Sumber:
http://www.pu.go.id/index.asp?link=/humas/news2003/ppw010309tiw.htm

k3 di rumah sakit

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.



Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS.



Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja RS, yaitu sprains, strains : 52%; contussion, crushing, bruising : 11%; cuts, laceration, punctures: 10.8%; fractures: 5.6%; multiple injuries: 2.1%; thermal burns: 2%; scratches, abrasions: 1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain-lain: 12.4% (US Department of Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).



Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi pada perawat (16.8%) dibandingkan pekerja sektor industri lain. Di Australia, diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42% dan di AS, insiden cedera musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS, sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS.

Selain itu, Gun (1983) memberikan catatan bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae. Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka.



Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik.



Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS.

oleh teguh

Dampak Sistem Pencahayaan bagi Kesehatan Mata

Negara kita yang terletak di daerah khatulistiwa, di mana sinar matahari pada siang hari selama kurang lebih 12 jam dapat memberikan kebutuhan terhadap makhluk hidup. Sehubungan dengan itu, aktivitas kita dalam bekerja bersumber dari cahaya matahari dan pencahayaan buatan, yaitu listrik.
Cahaya buatan adalah cahaya yang berasal dari hasil karya manusia berupa lampu yang dapat menyinari ruangan sebagai pengganti jika sinar matahari tidak ada. Cahaya buatan yang tidak baik tentunya akan mengganggu aktivitas keseharian kita, misalnya ditempat kita bekerja. Bahkan, dengan cahaya buatan yang baik dan disaring dari “kesilauan” akan bisa mempertinggi aktivitas kita dalam bekerja jika dibandingkan jika beraktivitas pada cahaya siang alamiah.
Perkembangan cahaya buatan dimulai dari cahaya obor dari kayu cemara, lampu minyak tanah, lilin, lampu gas sampai pada lampu listrik. Setelah listrik diketemukan, mungkin lampu-lampu jenis lain ada yang sudah tidak dipergunakan lagi.
Efek pencahayaan ini bisa terjadi melalui tiga cara, yaitu; direct (langsung), dimana cahaya yang diterima langsung dari sumbernya, misalnya lampu meja untuk membaca; indirect (tak langsung), dimana bila cahaya yang diterima merupakan hasil pantulan dinding dan loteng, seperti halnya di ruang tamu; semi direct (genural diffusing), apabila cahaya itu datang dan dipancarkan kesegala jurusan, seperti halnya di kantor-kantor.
Dalam menggunakan cahaya buatan, haruslah memenuhi beberapa syarat agar tidak menimbulkan gangguan pada kesehatan mata, yaitu;
Pertama, pencahayaan buatan tidak boleh menimbulkan pertambahan udara (di tempat kerja, misalnya) yang berlebihan. Jika hal ini terjadi, diusahakan supaya suhu tersebut turun, misalnya dengan mengusahakan pengaturan ventilasi, AC, dan fan;
Kedua, sumber haruslah bisa memberikan pencahayaan dengan intensitas yang tetap, menyebar, merata, tidak berkedip-kedip, tidak menyilaukan, dan tidak menimbulkan bayangan yang mengganggu.
Ketiga, pencahayaan haruslah cukup intensitasnya, sesuai dengan beban aktivitas (bekerja) yang dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan suatu pekerjaan.

Pengaruhnya bagi Mata
Sistem pencahayaan yang baik akan memungkinkan kita bisa beraktivitas atau pun bekerja dalam keseharian kita secara jelas, tepat tanpa upaya-upaya yang tidak perlu, pencahayaan mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mata sendiri. Bahkan, lebih jauh lagi terhadap keselamatan kerja, dan produktivitas kerja.
Cahaya mempunyai sifat dapat membunuh kuman atau bakteri. Bahkan, cahaya matahari sering dimanfaatkan untuk mengobati penyakit rachitis. Tetapi sebaliknya terlalu banyak kena sinar matahari dapat pula mengakibatkan penyakit kanker pada kulit. Adapun, cahaya bisa membunuh kuman atau bakteri, misalnya kaca hijau; 45 menit, kaca merah 20–30 menit, kaca biru 10-20 menit, kaca putih (langsung) 5-10 menit.
Cahaya didalam ruangan mungkin bisa saja dikurangi intensitasnya, tetapi hal ini bisa mengurangi kelembaban dan suhu ruangan, serta dapat mengakibatkan berkembangbiaknya serangga dan tikus dalam ruangan. Selain itu, pencahayaan yang tidak baik akan menimbulkan terjadinya stres pada penglihatan. Stres pada penglihatan ini bisa menimbulkan dua tipe kelelahan, yaitu kelelahan mata dan kelelahan syaraf (visual and nenlous fatique). Kelelahan mata yang disebabkan oleh stres yang intensif pada fungsi tunggal (single function) dari mata.
Stres yang persisten pada otot akomodasi (ciliary muscle) dapat terjadi pada saat seseorang mengadakan inspeksi pada obyek-obyek yang berukuran kecil dan pada jarak yang dekat dalam waktu yang lama dan stres pada retina dapat terjadi bila terdapat “kontras” yang berlebihan dalam lapangan penglihatan (visual field) dan waktu pengamatannya cukup lama.
Kelelahan pada mata ini ditandai oleh adanya iritasi pada mata atau konjungtivitis (konjungtiva berwarna merah dapat mengeluarkan air mata), penglihatan ganda, sakit kepala, daya akomodasi dan konvergensi menurun, ketajaman penglihatan (visual acuity), kepekaan kontras (contras sensitivity) dan kecepatan persepsi (speed of perception).
Dengan demikian, pergunakanlah pencahayaan atau penerangan sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan mata kita. Sebab, jika cahaya berlebihan hal ini bisa menimbulkan kerusakan dan kelelahan pada mata kita. Bahkan, jika terlalu berlebihan cahaya pun bisa mengakibatkan kebutaan.

Penulis adalah sanitarian, pemerhati kesehatan lingkungan, tergabung dalam Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI), Bandung.

oleh:
Budi Imansyah S

papan petunjuk k3

Berbicara tentang keselamatan atau kesehatan maka adalah relevan untuk mengatakan “mencegah itu lebih baik dari pada mengobati“. Jadi agar dapat tetap selamat dan sehat baik dalam pekerjaan atau segalanya maka hindarilah hal-hal yang menyebabkan terjadi sebaliknya (kecelakaan atau sakit). Karena bagaimanapun jika telah terjadi kecelakaan dan sakit, maka satu-satunya cara agar dapat tetap hidup adalah dengan mengobatinya (internal atau eksternal).
Pada proyek-proyek konstruksi yang telah sadar akan perlunya K3 maka salah satu cara yang cukup efektif agar dapat terhindar dari terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan memberikan peringatan, baik secara lesan (oleh pengawas) atau oleh kesadaran sendiri dari pekerjanya. Untuk yang terakhir ini, maka keberadaan papan-papan peringatan atau petunjuk K3 adalah sangat membantu sekali.
Namanya saja manusia, yang bisa berbeda baik dari segi latar belakang pengetahuan, pendidikan atau kebiasaan yang biasa dilakukannya, maka membuat papan-papan petunjuk K3 yang efektif adalah gampang-gampang sulit. Padahal jika ada papan petunjuk yang dapat dimengerti secara jelas dan mudah dipahami, maka pekerjanya akan terbantu untuk sadar dalam bertindak, sehingga dapat terhindar dari bencana yang tidak diinginkan.